Alwandanu's Pov

Teringat obrolan dengan seorang teman di sebuah sore yang temaram,

“Kadang gue masih gak ngerti deh, Wan, kenapa akhirnya lo lebih pilih Radista.”

Saat itu, aku hanya diam. Menatap datar ke arah semburat orange yang semakin menggelap. Menghantarkan burung-burung ke peraduan, juga beberapa petani di perkebunan teh yang beranjak pulang.

Saat itu, tidak terbesit sedikitpun jawaban di otakku. Jawaban yang kiranya bisa memuaskan hasrat penasaran teman ku itu.

Saat itu, yang terfikir olehku hanyalah keyakinan bahwa aku merasa aman untuk menghabiskan sisa umurku dengan Radista. Tapi aku yakin, jawaban itu tidak akan cukup baik untuk aku berikan kepada Javi.

Javi, seorang teman yang meyakini bahwa Theana akan lebih cocok untuk aku. Seorang teman yang merasa bersalah karena menjadi sebab perpisahanku dengan Theana. Hingga aku harus pergi jauh dari negara ini dan pelan-pelan tanpa sadar menggeser posisi Theana di hati ku.

Mungkin sebagian dari kalian, yang juga mengikuti kisahku akan merasakan rasa penasaran yang sama dengan Javi. Dan bahkan mungkin juga, sebagian dari kalian juga tidak setuju dengan keputusanku untuk memilih Radista.

Tapi dia, gadis sederhana yang dengan sabar menemaniku dan membantuku untuk bangkit. Bahkan ketika dia sendiripun kesulitan untuk berdiri di atas kedua kakinya sendiri.

Gadis sederhana yang rela memelukku ketika aku bermimpi buruk, gadis sederhana yang rela belajar memasak di tengah-tengah jadwal sibuknya sebagai seorang dokter.

Atau bisakah aku bilang bahwa dia gadis bodoh?

Gadis bodoh yang hanya tersenyum saat tanpa sadar aku membisikkan nama lain ketika aku mencapai puncak pelepasanku.

Gadis bodoh yang malah mendorongku untuk kembali pada seorang gadis yang dia yakini masih berada di hatiku.

Tanpa Radista sadari, semakin aku berusaha kembali kepada gadis itu, justru semakin besar juga keinginanku untuk memilihnya. Keinginan untuk meyakinkannya bahwa tak ada lagi tempat aku kembali.

Karena rumah baruku jauh lebih nyaman.

Karena rumah baru itu membuat aku merasa di terima sepenuhnya.

Rumah baru itu membuatku merasa bahwa aku adalah satu-satunya pemiliknya.

Dan akhirnya dia mengerti, ketika aku tidak lagi menyebut nama lain ketika kami bercinta. Hanya namanya.

“Radista Ayumi Derovano.”

Dia, perempuan yang akhirnya mencuri nama belakangku. Menyatukan nama itu dengan namanya, yang kemudian nanti akan digunakan pula untuk anak-anak kami.