Tentang Garend dan Adzkiya
Adzkiya
Ibu pengasuh di panti asuhan tempat gue tinggal dulu pernah berkata,
“Ketika tidak ada lagi tempat untuk kamu bercerita, tulislah saja keresahanmu di atas sebuah kertas. Dia akan jadi tempat paling aman. Dia hanya akan mendengarkanmu, tanpa mencoba mengerti, apa lagi mengadili.”
Sejak itu, entah sudah berapa lembar kertas yang telah gue habiskan untuk melepaskan segala keresahan yang mengganggu gue. Mungkin seratus, lima ratus, atau bahkan ribuan kertas.
“Menulis lagi?” Suara lembut nan keibuan itu masuk dengan begitu sopan ke telinga gue, membuat atensi gue yang tadinya terarah pada buku harian menjadi terarah sepenuhnya kepadanya. “Puisi? Atau curhatan hati?” tebaknya.
“Puisi, Bu. Tadi Kiya liat ada bunga bagus di depan, jadi terinspirasi hehehe.”
Bu Malika mendekat, membawa figurnya yang tenang duduk di sebelah gue. “Ibu senang kamu datang ke sini, Ki.”
Mungkin rasa senang Bu Malika setara dengan rasa senang gue karena beliau masih menerima gue sama hangatnya dengan pertemuan pertama kami dulu.
Tanpa bertanya kenapa gue datang, tanpa bertanya luka apa yang sedang gue simpan, dia hanya menyambut gue dengan kedua tangannya yang terbuka lebar.
Kami saling bertatapan, lama. Hingga tiba-tiba Bu Malika terperanjat dan berkata, “Ibu sampai lupa, ada yang mencari kamu di depan.”
“Siapa?”
“Namanya Garend.”
Nama itu lagi, nama yang masih saja membuat hati gue nyeri tiap kali gue mendengarnya. Tapi tetap saja, rasa penasaran akan alasan kedatangannya masih membuat gue berjalan ke depan untuk menemuinya.
“Kiya.”
Dia duduk di ruang tamu dengan sebelah tangannya memegang sebuah kotak kecil yang entah apa isinya. Ketika gue duduk di seberang kursinya, dia langsung meletakkan kotak itu di atas meja. “Apa kabar?” tanyanya.
“Gini-gini aja, Rend.” balas gue singkat.
Dia tampak gelisah, tidak seperti Garend yang gue kenal— Garend yang selalu tenang.
“Ki, gue....hmmm.. gue..” Dia terlalu gelisah dan gugup, membuat gue tidak sabar dan memotong ucapannya. “Gak usah gugup gitu, Rend. Santai, santai, ada apa?”
Dia tersenyum kemudian mengangguk. “Ini, maaf gue lancang karena ke sini tanpa bilang sama lo dulu. Gue tahu lo di sini dari Lucia.” Kemudian dia mendorong pelan kotak kecil itu ke arah gue dengan begitu pelan. “Buat lo, Ki.”
Gue tidak menjawab ucapan Garend namun sebelah tangan gue bergerak untuk mengambil kotak itu dan membukanya. Sebuah kalung cantik dengan liontin berentuk “^” menyapa gue.
“Ini.... apa, Rend?” Pertanyaan bodoh sebenarnya, karena seharusnya sudah jelas itu adalah sebuah kalung. Tapi gue ingin memastikan, apa tujuannya datang ke sini dengan membawa kalung ini.
Bukannya menjawab pertanyaan gue, dia justru memberikan pertanyaan lain. “Suka gak?”
“Suka.”
Ada hening yang panjang setelah jawaban gue itu. Garend belum bersuara lagi hingga rasa penasaran gue naik hingga level teratas. Dan gue merasa keheningan ini tidak benar. “Ini...buat gue?” tanya gue pada akhirnya.
“Iya. Hmmm, Ki, sebelum Bunda pergi, ternyata Bunda sempat ke toko perhiasan sama Ayah dan Ica. She made couple necklace.” Garend menatap gue sebelum melanjutkan. “Kalung itu bukan untuk pasangan kayak biasanya, tapi kalung itu, kalung persahabatan.”
Gue mengerutkan alis, menatap Garend dengan ekspresi menuntut penjelasan yang lebih panjang lagi.
“Kalung yang ada di tangan lo sekarang, liontinnya berbentuk huruf A, Ki. Tapi kalau lo coba balik liontinnya, itu jadi huruf V.” Perlahan-lahan, gue mulai mengerti kemana arah pembicaraan kami.
Liontin ini, liontin untuk inisial nama gue dan Vivian. Bunda memesan perhiasaan ini secara khusus untuk kami berdua.
“Rasa sayang Bunda ke kalian berdua sama besarnya, Ki.”
Ada air mata yang menetes dari sudut mata gue ketika Garend menyelesaikan kalimatnya. Ada perasaan bersalah yang begitu kuat hingga membuat dada gue sesak. Perasaan bersalah karena sempat mengira bahwa Bunda lebih menyukai Vivian hingga akhirnya Garend pun juga memilih Vivian. Perasaan bersalah karena sempat mengira bahwa Bunda sudah tidak menyayangi gue seperti dulu.
Perasaan bersalah karena ternyata dugaan menjijikkan gue itu salah.
“Gue juga ke sini untuk minta maaf, maaf karena gue gak bisa seadil Bunda untuk sayang sama kalian.”