Langkah pertama Raechan
Raechan
Bau matahari yang berasal dari tubuh mahasiswa yang baru saja selesai dari kelas mereka masing-masing bercampur dengan bau pengharum ruangan di ruangan ber-AC yang sesak. Mata-mata sayup dan helaan nafas lelah dapat gue lihat dan dengar dari sana-sini. Beberapa dari mereka bahkan menguap dengan terang-terangan tanpa mau repot-repot menutup mulut mereka dengan sebelah tangan.
“Hahahahah capek, ya? Sabar ya, sebentar lagi Pak Wishnu dateng kok. Kalian kalau ada yang bawa makanan, makan aja dulu gak papa.“ Gadis cantik di depan sana tersenyum seraya merapihkan beberapa kertas yang ada di tangannya.
Kayana— Gadis itu— Dia masih tampak begitu cantik dan segar. Berbanding terbalik dengan keadaan gue yang sudah mulai kumal dan bau badan.
“Rae, mau gak?” Bisikan lembut dari arah samping membuat gue menolehkan wajah, menatap malas ke arah Klarisa yang menyodorkan sebungkus permen karet. “Gak ada yang lain? Nasi padang gitu kek.” tanya gue dengan malas, masih juga mempertahankan wajah malas gue kepada Klarisa.
“Nih jigong gue mau? Rasa nasi padang kok soalnya tadi siang Jaenandra ajak gue makan nasi padang.” jawabnya menyebalkan.
“Jorok lo!” hardik gue ketus, menambahkan sedikit toyoran untuk kepala Klarisa di akhir hardikan gue.
“Selamat pagi, Pak.”
Sapaan sopan yang serempak itu menyadarkan gue kalau pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok pria berkemeja putih yang terlihat terburu-buru. Beliau duduk di kursi yang telah disiapkan, menatap kami satu-persatu seolah berusaha menguasai seisi ruangan.
“Maaf, ya, saya tadi harus ke kelas dulu.” Beliau membuka briefing sore ini dengan permintaan maaf lalu melanjutkan, “Jadi gimana? Yang lolos seleksi pertama segini nih ya?”
Lalu briefing dimulai dari sana, membahas hal-hal yang berkaitan dengan keanggotaan. Telinga gue fokus pada penjelasan Pak Wishnu tapi sayangnya indera penglihatan gue justru tertaut pada figure cantik yang juga ikut mendengarkan penjelasan Pak Wishnu.
Hati gue berdesir tiap kali dia mengulas senyum, mengangguk setuju ataupun menyanggah dan berpendapat. Dia tampak sempurna dalam segala hal yang dia lakukan. Bahkan gue mengagumi bagaimana jari-jari cantiknya bekerja sama ketika Kayana mengikat rambut hitam panjangnya.
Kayana terlalu cantik untuk sekedar dipandangi, gadis seperti dia lebih layak untuk dijaga dan dilindungi. Gue bahkan tidak memperdulikan peringatan Kak Kiyo yang mengatakan bahwa Kayana tipikal wanita yang berdiri untuk dirinya sendiri.
Karena gue, Raechan Leenandar, merasa percaya diri bahwa gue tahu cara memperlakukan wanita secantik dia dengan baik.
Lama briefing itu berlangsung, hingga akhirnya Pak Wishnu beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruangan.
“Sebelum saya tutup, kalau ada yang mau ditanyakan boleh ya.”
Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, tangan kanan gue terangkat untuk mencuri perhatian Kayana. Dia menatap gue sebentar kemudian berkata, “Boleh silahkan sampaikan pertanyaannya.”
“Selamat sore, Kak. Perkenalkan saya Raechan, yang dua minggu lalu minta waktu Kak Kayana untuk menanyakan beberapa hal. Malam ini, bisa saya sampaikan pertanyaannya? Mungkin kita bisa ngobrol sambil makan malam?”
Kayana tertegun, menatap gue lamat-lamat. Gue membalas tatapannya, mengabaikan suara riuh dari teman-teman seangkatan gue yang terkejut karena ulah gue barusan.