Raechan dan persahabatannya

Perjalanan menuju private island milik ayah Jaenandra membutuhkan waktu sekitar 45 menit dari dermaga kapal pesiar. Jaenandra mengemudikan kapal pesiar itu seorang diri karena telah memiliki lisensi legal untuk mengemudikannya. Rasanya hari ini, Kayana tak habis-habis dibuat takjub oleh sahabat Raechan itu. Fakta bahwa Jaenandra adalah anak dari keluarga kaya raya hingga memiliki lisensi kapal pesiar.

Markio memilih untuk menemani Jaenandra dibalik kemudi kapal, lalu yang lainnya duduk di bagian depan kapal. Sinar matahari siang itu cukup terik hingga membuat mereka semua harus mengenakan kaca mata hitam sebagai perlindungan.

Ketika mimpimu yang begitu indah Tak pernah terwujud, ya sudahlah Saat kau berlari mengejar anganmu Dan tak pernah sampai, ya sudahlah Apa pun yang terjadi Ku 'kan s'lalu ada untukmu Janganlah kau bersedih 'Cause everything's gonna be okay

Suara Raechan dan Juan memenuhi area depan kapal, sedangkan Jevan hanya mengiringi nyanyian mereka dengan gitar yang dimainkannya dengan piawai. Lagu demi lagu mereka nyanyikan hingga mereka pun kelelehan.

“Udahan ah, aus.” kata Raechan akhirnya, tangannya meraih sebotol air dingin dari atas meja. Ditenggaknya minuman itu sampai hanya tersisa setengah, “Minum, Kak?” tawar Raechan pada Kayana.

“Dih masa Kak Kayana dikasih sisa gitu, sih.” Jelena mendengus sewot sedangkan Kayana meraih botol minum itu tanpa keberatan, “Gak papa, El.” jawabnya lembut.

“Kalian tuh sahabatan udah lama ya?” Kayana bertanya pelan, tiba-tiba merasa penasaran dengan asal mula persahabatan orang-orang yang kini dekat dengannya.

“Lumayan, Kak.” jawab Jevan, “Dari Ica sama Elena masih dekil deh pokoknya.”

Klarisa terkekeh mengiyakan sedangkan Jelena bersungut-sungut menatap Jevan, “Dih gitu-gitu juga lo dulu naksir gue.”

“Jevan pernah pacaran sama Elen?” tanya Kayana antusias.

“Gak sampe pacaran, Kak. Tuh si Jepan bego banget, udah tau naksir Elen tapi masih tetep aja deketin cewek sana-sini. Ya Elen ogah lah, mending sama Kak Kiyo yang jelas kelakuannya.” Juan menjelaskan dengan semangat. Kayana sampai bingung dibuatnya. Bingung karena melihat mereka bisa membahas hal sesensitif ini dengan begitu santai—yang artinya mereka sudah berdamai dengan keadaan.

“Makanya saya kagum sama Raechan, Kak. Pas dia bilang mau serius sama Kak Kayana, dia bener-bener nepatin omongannya. Saya saksinya. Dia sama saya tuh dulu gak jauh beda kelakuannya. Tapi sekarang, saya acungin jempol deh buat dia. Dia beneran lepas sama semua karakter bangsat di hidupnya soal cewek.” Jevan menatap malas ke arah Raechan yang tersenyum sombong dari tempatnya duduk, “Aslinya saya males ngomong begini di depan dia. Liat aja tuh mukanya.”

“Makasih loh, Jev, udah muji gue.”

Taik.” balas Jevan.

Angin berhembus lebih cepat saat Jaenandra menaikkan kecepatan kapal pesiar. Pulau pribadi milik ayah Jaenandra sudah mulai terlihat meskipun jaraknya masih cukup jauh. Bau air laut tercium, suara ombak yang bertabrakan dengan kapal juga semakin keras terdengar.

Next time main ke rumah gue, lah. Ayah sama Bunda udah nanyain tuh.” Suara Klarisa terdengar sayup-sayup dikalahkan suara angin.

“Emang rumah kamu dimana, Ca?” Kayana sampai harus menaikkan volume suaranya agar terdengar.

“Di perkebunan, Kak. Enak deh tempatnya, adem.”

“Ayahnya Ica juragan tuh, Kak. Rumahnya yang di perkebunan udah kaya rumah di sinetron-sinetron.”

Mereka terkekeh atas komentar Juan yang terdengar lucu di telinga mereka.

“Sayang banget gue gak bisa nawarin rumah gue buat didatengin sama kalian.” Meskipun isi dari ucapannya agak menyedihkan, Jevan mengatakan hal tersebut dengan santai, “Papa saya gak pernah di rumah, Kak. Kalaupun pulang juga cuma marah-marah, makanya saya lebih suka di studio. Ya meskipun itu studio dikasih sama Papa saya juga sih. Tapi seenggaknya, gak ada suara teriakannya di sana.”

Kayana tertegun, dari balik kaca mata hitamnya dia menatap khawatir ke arah Jevan.

“Ya tapi gak papa lah, kalau lagi butuh kasih sayang orang tua, saya bisa cari orang tua mereka semua nih, udah kaya orang tua saya juga soalnya.”

“Ayah saya aja lebih sayang sama Jevan kayaknya, Kak. Apa lagi adik saya si Dama tuh, lebih demen ngajak futsal Jevan dari pada abangnya sendiri.” tambah Raechan.

“Ya lo bego sih gak bisa main futsal. Bukannya lo tendang, malah lo bawa pake tangan tuh bola sampe ke gawang.” Kalimat Jevan diakhiri dengan toyoran pelan di kepala Raechan.

Lalu suara tawa terdengar lagi, kali ini lebih keras. Membuat Jaenandra dan Markio mengintip dari tempatnya.

“Ngomongin apa sih? Seru amat kayaknya!”

“Gak usah kepo! Udah nyetir ae yang bener! Keburu mabuk laut nih gue gak nyampe-nyampe!”

Siang itu, Kayana belajar lagi tentang persahabatan dengan melihat Raechan dan sahabat-sahabatnya.

Siang itu, Kayana merasakan lagi kehangatan yang lama tak dirasakannya.

Siang itu, Kayana mensyukuri bahwa dengan mengizinkan Raechan masuk ke hidupnya membuatnya mendapatkan kenyaman yang baru dirasakannya.

Siang itu, Kayana semakin membuka hati seluas-luasnya untuk Raechan.