Organisasi dan Sisi Gelapnya

“Jadi beneran gak ada yang mau ngomong nih?”

Dari tempatnya duduk, Kayana memejamkan matanya rapat-rapat. Kedua tangannya juga saling bertaut. Di depan sana, didengarnya sekali lagi ada seseorang yang menggebrak meja dengan begitu kuat.

“KALAU GAK ADA YANG NGOMONG, BENERAN GAK SAYA PULANGIN NIH YA.”

Meskipun dalam keadaan menunduk Kayana bisa tahu bahwa yang beteriak barusan adalah Dona— Wakil Ketua Lembaga Pusat Perbantuan tahun ini. Teriakan lain menyusul setelahnya, kali ini Kayana yakini sebagai suara Baim, sang ketua, “PADA GAK PUNYA MULUT APA GIMANA?”

Seisi ruangan kembali hening setelah teriakan Baim, belum ada satupun di antara anggota LPP angkatan semester tiga dan semester lima yang berani membuka mulut mereka. Sebetulnya mereka bukan takut, hanya saja mereka benar-benar tidak tahu-menahu perihal masalah yang sejak tadi senior mereka bahas. Mereka berpikir bahwa membuka mulut dalam keadaan tidak tahu apa-apa seperti ini hanya akan memperkeruh masalah, namun ternyata, mereka tetap salah bahkan ketika mereka tetap menutup mereka.

“Gue tanya sekali lagi ya, siapa yang berani-beraninya ngeduluin anak fakultas bahasa jepang buat ngehubungin juri? Kalian paham job masing-masing gak sih? Dari awal udah jelas kan, nama organisasi kita itu Lembaga Pusat Perbantuan yang tugasnya sebagai support team aja buat fakultas yang lagi ngadain event, jadi gak semua tugas mereka jadi tugas kalian juga.”

Tetap hening, tidak ada satupun yang berani angkat bicara.

“Danu, ketua Bunkasai tahun ini bisa jelasin?”

Yang disebut namanya langsung berdiri dan menatap ke arah beberapa senior yang juga menatapnya, “Maaf, Kak, bukan bermaksud melempar tugas, tapi kemarin saya dan Kayana sudah bagi tugas. Dan tugas untuk mengurus juri ada di job dia, Kak.”

“Kayana, bener yang dibilang Danu?”

Jantung Kayana bergedub lebih cepat dari sebelumnya, perlahan dia berdiri dan menatap ke depan, “Bener, Kak.”

“Oke, jelasin kalau gitu kenapa bisa sampe anak Jepang setersinggung itu.”

“Terakhir kali saya ngobrol sama Ayunara anak semester satu soal juri, kita masih nunggu daftar juri dari mereka, Kak. Jadi kita gak ada ngehubungin juri sama sekali.” Kayana melirik ke tempat Iren duduk, dan temannya itu mengerti sinyal dari Kayana, “Kemarin saya stay di ruangan sampe sore, Kak, untuk menggantikan Kayana yang ada urusan sedikit di luar kampus, tapi gak ada juga yang ngomong ke saya soal juri.”

“Wah kemana tuh masih jam kampus malah ngelayap?” sindir seorang senior perempuan,

“Saya.....”

“Oke udah jelas ya sekarang MASALAHNYA ADA DI SIAPA.” Dona berkata sambil menekankan beberapa katanya.

“Saya keluar ruangan saat jam makan siang kok, Kak. Dan saya juga udah bilang kalau butuh apa-apa bisa hubungin saya lewat telfon.”

Argue kamu?” Dona bergerak mendekati Kayana namun dihalangin oleh Baim, “Udah, Don, biar mereka beresin sendiri.” Baim menarik Dona pergi ke luar ruangan dan diikuti senior LPP yang lainnya.

Suasana di ruangan langsung senyap saat seluruh senior mereka keluar ruangan.

“Gue beneran gak tau kalau ada yang ngehubungin juri tanpa koordinasi sama anak jepang. Maaf, Kak Danu.” Kayana langsung mendekat pada Danu untuk meluruskan masalah, “Gak papa, Kay, kemarin kan juga gue izinin lo pergi. Ini kita kecolongan aja.”


Sekembalinya dari briefing dengan angkatan atas, Raechan merasakan aura yang berbeda dari para seniornya. Beberapa dari mereka terduduk di kursi dengan kepala menunduk dan sebagainnya lagi kembali fokus pada pekerjaan mereka meskipun terlihat sekali mereka sedang memikirkan sesuatu. Raechan tidak mengerti apa yang terjadi tapi sesuai yang diperkirannya, pasti para seniornya itu mendapat sedikit atau bahkan banyak gertakan dari atas.

“Bang, rokok?” tawar Raechan pada Danu yang sedang mengotak-atik layar laptop di depannya.

“Wih, thankyou. Tau aja lo gue butuh rokok.”

“Ada apaan, Bang? Kok kayaknya pada lemes amat.”

“Ada masalah kecil, ntar aja dibahas. Angkatan gue kayaknya lagi pada berusaha fokus lagi tuh buat hari H.” Danu menayalakan rokoknya dengan korek yang juga dipinjamkan oleh Raechan.

“Kak Kayana keliatan paling lemes.” Raechan berbisik lirih, menatap ke arah Kayana yang saat ini sudah menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan.

Bisikan Raechan sampai pada telinga Danu meskipun hanya sepelan hembusan angin, “Gebetan lo yang kena tadi, jadi wajar aja dia begitu. Kayana tuh mentalnya bagus sebenernya, cuma ya karena dia masih semester tiga dan yang marahin anak tujuh ya kaget lah dikit-dikit.” katanya menjelaskan.

“Emang Kak Kayana salah apa, Bang?”

“Salah paham doang, udah lo fokus aja buat hari H.”

Raechan diam, segan untuk bertanya lebih jauh. Seniornya yang saat ini berada di semester lima itu kembali fokus pada layar laptopnya sambil sesekali menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke udara.

Perhatian Raechan kembali kepada Kayana, dia berperang dengan dirinya sendiri haruskah dia mendekati Kayana dan menenangkannya atau lebih baik untuk memberinya waktu sendiri dulu.

Akhirnya Raechan memutuskan bahwa opsi kedua terdengar lebih baik, karena Raechan selalu percaya bahwa terkadang seseorang yang sedang terpuruk hanya butuh ruang untuk dirinya sendiri, menenangkan dirinya sendiri dan berdamai dengan dirinya sendiri. Dan Raechan akan memberikan ruang itu pada Kayana, seluas-luasnya.

Baru nanti, Raechan akan bergerak, saat Kayana sudah membuka ruangnya untuk dimasuki orang lain.