Kuat Tapi Rapuh

Jika bisa dipersentase, kekuatan Kayana untuk membuka matanya saat ini hanyalah kurang dari 20 persen. Rasa kantuk benar-benar menguasai dirinya. Belum lagi rasa lelah yang semakin membuat Kayana ingin cepat-cepat pulang ke rumah, mandi dengan air hangat kemudian merebahkan dirinya di atas kasur empuk dan bersembunyi di balik selimut hangat.

Kayana bersandar pada mobil Raechan sembari menunggu laki-laki itu selesai dengan urusan terkahirnya di dome. Sayup-sayup Kayana mendengar suara tawa dan langkah ramai yang mendekat ke area parkir. Diperkirannya bahwa itu adalah rekan anggotanya yang juga sedang menuju mobil mereka untuk pulang. Kayana memilih untuk mengabaikan suara-suara itu hingga ada seseorang yang berjalan ke arahnya dan berucap meledek, “Oh si cantik masih disini ternyata. Kirain udah pulang.”

Kayana masih diam, belum berniat membalas ucapan tak mengenakkan itu.

“Kemarin aja masih jam kampus udah kabur entah kemana.” tambah orang lagi.

Kayana hanya menghembuskan napas panjang, dia benar-benar malas meladeni racauan orang itu—Dona.

Masih belum menyerah, Dona kembali berucap, “Gue denger semalem Rian kesini, ngadu lo sama dia?”

“Saya gak ngomong apa-apa ke Kak Rian.” jawab Kayana jujur, namun ternyata belum mampu untuk membuat Dona diam.

“Halah, udah tukang lari dari tugas, tukang ngadu lagi.”

Mendengar kata-kata itu, kesadaran Kayana kembali sepenuhnya. Perasaan lelah dan kantuknya tiba-tiba hilang entah kemana.

“Kak, kalau mau bahas kesalahan saya di LPP gak usah bawa-bawa Kak Rian bisa? Saya rasa Kak Dona udah cukup dewasa untuk bedain mana masalah organisasi dan mana masalah pribadi.”

“Si paling dewasa,” Dona berdecih, “Bisa masuk LPP karena cakep aja bangga lo.”

Amarah Kayana menumpuk di kepala, tapi dia tetap berusaha menahan semua gejolak panas itu.

“Kak, kayaknya kita sama-sama capek ya hari ini. Jadi mending Kak Dona pulang, istirahat, saya juga mau pulang.”

Kayana sudah akan masuk ke mobil Raechan sebelum dengan cepat Dona mendorong tubuhnya hingga Kayana jatuh ke tanah. Kedua tangannya menghantam permukaan tanah dengan cukup kuat, membuat telapak tangannya terasa perih.

“DONA!” jerit salah seorang senior LPP yang tadi datang bersamaan dengannya. Seseorang itu berusaha menarik Dona untuk pergi dari area parkir, “Kayana kita minta maaf, ya.” Kalimat itu yang terdengar sebelum mereka berdua pergi menjauh.

Setelahnya, suara langkah kaki lain terdengar mendekat, diiringi uluran tangan untuk membantu Kayana berdiri, “Kak Kayana gak papa?

Childish.” bisik Kayana pelan, sepelan hembusan angin namun Raechan masih bisa mendengarnya.

“Ada yang luka, Kak?” tanya Raechan khawatir sembari memperhatikan telapak tangan Kayana.

“Gak ada, Rae. Gue gak papa.”

“Tadi itu kenapa, Kak?”

“Biasa lah, urusan hati dibawa-bawa ke organisasi. Ya gitu jadinya.” Kayana menghembuskan napasnya sekali lagi, “Gue pengen pulang, Rae.”

“I... iya, kita pulang, ya.”


Pukul sebelas malam mobil Raechan memasuki area perumahan dimana Kayana tinggal. Mobilnya dia berhentikan di depan sebuah rumah bergaya sederhana dengan banyak tanaman hias di depannya. Terlihat seorang laki-laki tengah duduk di teras depan.

Raechan turun dari mobil kemudian bergerak untuk membuka bagasi belakangnya, tempat dimana Kayana menyimpan dua tas berisi keperluannya selama dua hari menginap di kampus kemarin.

“Ayah kok belum tidur?” Meskipun sedang cukup sibuk, Raechan masih bisa mendengar suara Kayana yang saat ini sudah berjalan menuju ke tempat ayahnya duduk.

“Ayah nungguin kamu pulang.” jawab laki-laki bernama Gati itu, “Raechan mana?”

Kayana menatap ke arah mobil, “Itu dia lagi nurunin barang-barang aku.”

Raechan tersenyum simpul sembari menutup bagasinya kembali, dia menenteng tas Kayana dan berjalan ke arah teras rumah, “Jam segini kok duduk di teras sih, Om? Gak takut masuk angin?”

Gati terkekeh pelan, “Badan Om ini sehat, Rae. Angin aja minder mau masuk.”

“Wah keren-keren.” Raechan ikut terkekeh.

“Masuk dulu, Rae?”

“Makasih banyak, Om. Tapi saya langsung pamit aja, ya? Udah jam segini soalnya.”

Gati terseyum lembut dan menepuk bahu Raechan pelan, “Yaudah kalau gitu, hati-hati nyetirnya, ya. Dan makasih udah anter Aya pulang.”

Raechan mengangguk, “Sama-sama.” Diraihnya tangan Gati untuk kemudian dia cium, “Saya pamit, Om.”

“Aya anter Raechan ke mobil ya, Yah.”

“Iya, Ayah masuk, ya.”

Raechan berjalan kembali ke mobil, di belakangnya Kayana membuntuti.

“Makasih ya, Rae, udah anter gue pulang.”

Bukannya membalas ucapan terimakasih itu, Raechan menatap Kayana dalam dan bertanya, “Kak Kayana beneran gak papa?”

Gadis itu tidak langsung menjawab, dia membalas tatapan Raechan dengan sama dalamnya.

“Kalau ada yang sakit bilang ke saya, kalau Kak Kayana lagi ngerasa sedih atau marah juga bilang aja ke saya, Kak Kayana punya saya, jangan dipendem sendirian.”

Kedua tangan Kayana mengepal kuat. Perasaan yang coba ditahannya sejak tadi meluap-luap. Perasaan marah, tidak terima, benci dan malu atas apa yang Dona lakukan padanya.

“Saya boleh peluk Kak Kayana?” Raechan bertanya pelan saat menyadari tak ada satupun kata yang keluar dari mulut Kayana.

Raechan mengerti bahwa sejak tadi Kayana menahan perasaannya seorang diri.

“Boleh gak, Kak?” tanya Raechan lagi.

Kayana mengangguk pada akhirnya, membuat Raechan menghapus jarak di antara mereka dan membawa Kayana ke dalam dekapannya.

“Saya disini, Kak Kayana gak sendirian.”

Dalam dekapan Raechan, Kayana merasakan seluruh kenyaman yang bisa diberikan oleh manusia di bumi.