Kapal Pesiar dan Dermaga
Tidak seperti biasanya, siang ini Raechan memiliki waktu untuk makan siang dengan Jevan dan Juan di kantin fakultas. Meskipun Raechan sudah mewanti-wanti kedua sahabatnya itu untuk tidak menyita waktunya setelah jam makan siang. Jevan hanya memutar bola matanya malas mendengar ocehan sahabat lelakinya yang belakangan sangat sibuk itu. Dia memilih untuk mengalihkan tatapannya ke arah lain dan tatapannya jatuh pada seseorang yang sedang berjalan ke arah mereka,
“Eh, Rae, Kak Kayana jalan ke arah kita, Rae.”
Raechan diam, mengabaikan perkataan Jevan. Dia masih fokus pada semangkuk mie ayam katsu yang berada di depannya.
“Rae, bangsat ni anak. Makan mulu lo!.”
“Rae, gue gak bercanda. Heh! Itu Kak Kayana bego! Lap mulut lo itu lo belepotan.”
Raechan tidak bergeming, masih dengan kedua tangannya yang sibuk dengan sumpit dia hanya bergumam, “Halah, gak usah ngibul lo. Gue gak akan ketipu. Mana mungkin Kak Kayana nyamperin kita, dia lagi sibuk di sekretariat lagi.”
Jevan semakin kesal dibuatnya hingga dia mendekat pada Raechan dan berbisik. Suaranya dia buat sepelan mungkin tapi penuh penekanan, “Gue gak bohong, njing. Itu cewek kesayangan lo beneran kesini.”
Raechan menggeleng mengejek, suara tawa Juan semakin membuat dia yakin bahwa Jevan berbohong.
“Ah bodo amat, dah. Gue pacarin juga nih Kak Kayananya.” bisik Jevan menyerah sambil melirik Kayana yang sekarang sudah berjarak beberapa meter saja dari mereka.
Raechan masih saja mengganggap semua ucapan Jevan hanyalah kebohongan semata hingga akhirnya sebuah suara lembut yang memanggil namanya dan membuat Raechan meletakkan sumpitnya dengan tergesa.
Juan dan Jevan menahan tawa mereka mati-matian, sedangkan Raechan langsung meraih tisu untuk mengusap area bibirnya.
“Eheheheh, Kak Kayana kok disini?”
“Ini.... tadi sebelum ke kampus gue mampir ke toko mainan buat beli ini.” Kayana meletakkan sebuah kotak besar ke atas meja, “Gue beli ini buat Selo, kata lo kan dia suka main lego. Tolong kasihin buat dia, ya, Rae?”
Jevan dan Juan saling lempar padang.
“Ah..... Selo....” Raechan menyeringai, tidak lagi merasa gugup akan kedatangan Kayana yang begitu tiba-tiba, “Kayaknya Selo bakal lebih seneng kalau Kak Kayana yang kasih mainannya langsung deh.”
“Gue....”
“Kak Kayana punya waktu berapa lama istirahatnya?” potong Raechan cepat.
“Gue... udah free sih, cuma harus nunggu laporan anak-anak divisi aja sih.”
“Yaudah kalau gitu mending Kak Kayana ikut saya pulang,” Raechan melirik jam tangannya sebentar sebelum kembali menatap Kayana, “Yuk, Kak?”
“Hmm tapi Rae....”
“Udah jangan banyak mikir, ayo buruan, nanti keburu Selo tidur siang.” Raechan berucap tidak sabar, dia langsung menggendong tas hitamnya di punggung dan mengangkat kotak lego dengan satu tangan. Sementara satu tangannya yang lain meraih lengan Kayana.
“Eh... Rae... tas gue masih di ruang LPP. Lo tunggu sini aja, biar gue ambil dulu bentar, sekalian izin sama Kak Danu.”
“Oh... Oke. Jangan lama-lama, ya!”
Sepeninggalnya Kayana, Juan dan Jevan langsung ikut berdiri dan menghampiri Raechan,
“Eh, Rae, kalau lo bawa Kak Kayana ke rumah artinya ntar ketemu Mama lo dong?”
“Keren, kan? Sekali mendayung dua pulau terlampaui.” ucap Raechan sambil tersenyum puas.
“Wah, makasih lo sama Selo harusnya!” cerocos Juan tidak terima karena anak selucu Selo kembali dimanfaatkan oleh kakak kandungnya untuk mendapatkan hati wanita yang dia cintai.
“Iya pasti ntar gue makasih ke dia!”
Juan tidak lagi menjawab, dia sudah kehabisan kata-kata. Terlalu takjub.
Sekarang Juan benar-benar yakin bahwa sahabatnya itu benar-benar seorang penakluk wanita. Seorang wanita yang dipuja-puja seperti Kak Kayana, yang dulu menolak sahabatnya mentah-mentah itupun sudah mulai luluh.
“Ini rumah saya, Selo ada di dalem.” ucap Raechan seraya membimbing Kayana melewati taman kecil sebelum sampai pada pintu utama istana milik keluarganya itu.
“MAAAAA.... RAECHAN PULANGGG....” Suara teriakan Raechan menggema, membuat seorang wanita cantik dengan gaun rumahan berwarna biru muda turun dari lantai dua, “Loh, Rae, bolos lagi kamu? Kok jam segini udah pulang?”
“Enggak, aku ada istirahat sebentar dari kegiatan LPP. Ntar balik lagi. Eh iya, Selo mana, Ma? Ada yang mau ketemu nih.”
“Siapa? Kok tumben ada yang.... Loh, halo, ini siapa?” Mama Raechan berjalan mendekat dengan senyum ketika mendapati anak sulungnya tidak datang sendirian, “Cantik sekali, ini siapa? Kok Tante baru liat?”
“Saya Kayana, Tante. Senior Raechan di kampus.” jawab Kayana, disentuhnya tangan Mama Raechan untuk kemudian dia cium dengan sopan.
“Oh ya ampun, ayo duduk, Nak, silahkan-silahkan.”
Masih dengan senyum marah, Mama Raechan segera mengambil beberapa camilan untuk dihindangkan di ruang tamu. Dia juga terlihat heboh memanggil Selo, anak bungsunya, yang tengah asik bermain di kamarnya.
“Kak Ayaaaaa!!!!”
Pria kecil itu tidak kalah heboh, dengan kaki-kaki kecilnya, Selo berlari menghampiri Kayana yang sudah duduk di sofa.
“Kak Ayaa...” panggil Selo lagi dengan mata berbinar-binar.
“Halooo, Sayang. Ih gantengnyaaa.... Eh Kak Aya bawa kado loh buat kamu, nih..” Kayana menunjukan kotak lego berukuran sebesar tubuh Selo yang langsung disambut Selo dengan senyum sumringah.
“Mainannya besar...” Selo menatap Kayana dan mainan barunya bergantian, “Makasih, Kak Aya.”
“Sama-sama, Sayang.”
“Saya ke atas dulu ya, Kak, ganti baju. Ngobrol dulu aja sama Mama.”
Raechan sudah lebih dulu menaiki tangga rumahnya sebelum sempat Kayana mengiyakan atau menolak perkataannya itu. Sekarang, di ruang tamu milik keluarga Raechan itu hanya ada Kayana, Mama Raechan dan tentunya Selo yang sedang asik dengan dunianya sendiri.
“Kayana kuliah di jurusan apa?”
“Pemasaran, Tante.”
“Wahh, keren, dulu Raechan juga disuruh Papanya masuk pemasaran tapi dianya gak mau.” Mama Raechan menggeser duduknya untuk semakin dekat pada Kayana, “Kamu pacarnya Raechan, ya?” bisik Mama Raechan yang langsung membuat Kayana salah tingkah.
“Oh? Hm.. bu... bukan kok, Tante. Saya cuma seniornya Raechan di kampus.”
“Oh, hehe, Tante kira pacarnya. Soalnya baru kali ini Raechan bawa temen perempuan ke rumah selain sahabatnya si Ica sama Elen.”
Kayana hanya tertawa canggung. Wanita paruh baya yang ada di hadapannya benar-benar perwujudan dari Raechan versi perempuan. Tawanya, caranya berbicara, bahkan caranya merayu mirip sekali dengan Raechan. Tanpa tes DNA-pun rasanya sudah dapat dipastikan bahwa beliau adalah mama kandung Raechan.
“Kayana gak buru-buru, kan? Makan siang dulu ya disini? Nanti biar Tante suruh Raechan masak.”
“Raechan.. bisa masak, Tante?”
“Bisa, lebih jago dari Tante malah. Kamu harus cobain, pasti bakal suka.”
“Oh... Boleh, Tante, terimakasih.”
“Belum makan kok udah makasih,” Suara Raechan terdengar lagi saat dia turun dari tangga.
“Ya sudah, Kayana temenin Raechan masak, ya? Tante ke atas dulu nemenin Selo main.”
Mama Raechan meningglkan Kayana yang kini melangkahkan kakinya mengikuti Raechan untuk masuk ke dapur, “Lo gak pernah bawa pacar lo ke rumah, Rae?”
Raechan memandang Kayana sebentar sebelum akhirnya dia terkekeh sembari membuka lemari pendingin, “Gak pernah, Kak. Mungkin bakal kedengeran basi sih, tapi saya emang baru kali ini bawa perempuan ke rumah, selain Ica sama Elen.”
Ah, sesuai sama yang mamanya bilang ya, batin Kayana.
“Kenapa?”
“Karena saya gak pernah serius sama mereka, jadi untuk apa juga di bawa ke rumah.” jawab Raechan enteng tanpa menatap Kayana sama sekali karena kali ini dia sudah sibuk memotong-motong bahan makanan.
“Kenapa lo gak pernah serius sama mereka, Rae? Lo juga bakal gitu ke gue?”
Pertanyaan Kayana membuat Raechan menghentikan kegiatan memotongnya, dia membalikkan badan untuk menatap Kayana yang duduk di meja bar kecil yang berada di pinggir dapur.
“Saya selalu ngerasa diri saya kayak kapal pesiar, Kak. Berlayar kemana aja yang saya mau dan kadang-kadang juga berhenti di dermaga yang saya mau. Kalau saya ngerasa gak nyaman di dermaga itu, saya bakal pergi ke dermaga lain, terus begitu... Sampai akhirnya saya bakal nemuin dermaga terakhir saya, tempat saya akan bersandar selamanya.”
“Lo mengibaratkan kisah cinta lo kayak gitu?”
Raechan mengangguk pelan, “Ya... seperti itu. Kedengeran bajingan, ya?” Laki-laki itu berjalan pelan ke meja bar dan menumpukan kedua tangannya di meja lalu memajukan tubuhnya ke arah Kayana, “Tapi seenggaknya, saya gak pernah berhenti di dua dermaga sekaligus. Ketika akan pergi ke dermaga lain, saya sudah pasti meninggalkan dermaga yang sebelumnya.”
Kayana diam.
“Dan Kak Kayana gak perlu khawatir, Kak Kayana adalah dermaga terakhir yang saya maksud.” Raechan tersenyum lembut pada Kayana seraya sebelah tangannya terangkat untuk mengelus rambut gadisnya itu dengan sangat pelan, “Saya tinggal masak dulu ya sebentar. Abis itu kita makan dan balik lagi ke kampus.”
Kayana masih diam.
Terus diam.
Sambil memandangi Raechan.