First Kiss
Saat keluar dari pintu belakang, Kayana mendapati Raechan tengah menunggunya di dekat bunga mawar yang berada di halaman belakang vila milik Jaenan. Seperti biasa, saat Kayana mendekat, Raechan akan langsung membuang dan menginjak rokok yang sedang dia hisap—tidak perduli apakah rokok tersebut sudah habis atau belum.
“Mau kemana sih?” tanya Kayana penasaran yang tidak langsung dijawab oleh Raechan.
“Mau bunga gak? Yang ini cuma setangkai tapi, gak banyak kayak yang dibawain cowok yang naksir Kak Kayana kemarin.”
“Gak usah, makasih.”
Raechan hanya mengangkat bahunya acuh kemudian kakinya melangkah mendahului Kayana, “Di belakang vila ini pantainya lebih bagus, gak banyak pohon palem kayak yang di depan vila. Saya mau ajak Kak Kayana kesana.”
Kayana hanya diam dan terus mengikuti langkah Raechan. Setelah berjalan kurang lebih selama sepuluh menit, mereka tiba di sebuah hamparan luas pasir putih yang mengarah ke pantai. Benar kata Raechan, tidak ada satupun pohon palem di sini, sehingga hamparan pasirnya terlihat luas sekali.
“Gimana? Suka gak?” Lagi, tiap kali merasa dirinya menang akan sesuatu, Raechan akan selalu bertanya dengan nada mengejek dan sombong yang menyebalkan, “Gak rugi kan ikut saya? Lagian udah jauh-jauh naik yacht kok malah nonton film di vila, ya mending jalan-jalan, nikmatin alam.”
Laki-laki itu duduk di pasir pantai dan membuka jaketnya. Dia meletakkan jaket itu di pasir—sebagai alas Kayana duduk— dan menepuknya pelan, “Sini, Kak, duduk. Berdiri aja kaya lagi dihukum.”
Kayana menurut tanpa protes. Dia duduk di sebelah Raechan yang sekarang memandang ke laut lepas yang terlihat begitu kelam namun indah karena tertimpa cahaya bulan.
“Kak Kayana seneng gak di sini?”
“Seneng lah, liburan gratis, orang-orangnya asik-asik, banyak makanan lagi!”
“Kalau saya gak ada di sini, Kak Kayana bakal tetep seneng, gak?”
Kayana terkekeh pelan, “Enggak akan seseneng ini kayaknya.”
“Kalau gitu, saya boleh cium Kak Kayana, gak?”
Raechan bertanya dengan nada begitu santai, hingga membuat Kayana kesal karena kalimat seperti itu keluar begitu saja dari bibir Raechan. Pertanda laki-laki sering menanyakan hal yang sama pada gadis-gadis lain.
“Gue cewek ke berapa yang lo tanya kayak gitu?”
“Cewek pertama, soalnya biasanya saya gak pernah nanya dulu kalau mau cium cewek.”
Kayana makin kesal dibuatnya.
“Boleh gak, Kak? Saya kan udah bilang, saya bakal minta izin untuk dua hal, izin cium Kak Kayana untuk pertama kali dan minta izin dari Om Gati untuk nikahin Kak Kayana.”
“Gak boleh.” jawab Kayana sebal, “Gue gak mau dicium sama orang yang gak punya status apa-apa sama gue.”
“Ya udah kita pacaran aja kalau gitu. Gimana?”
Sungguh, kepala Kayana seakan mau pecah saat ini. Ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Raechan seperti kalimat remeh yang tidak ada artinya. Sedangkan untuk Kayana, kalimat-kalimat itu adalah kalimat sakral yang harus diucapkan dengan penuh kesungguhan.
Kayana bangkit berdiri, henda meninggalkan Raechan di pantai yang sepi itu.
“Kalau Kak Kayana pergi dari sini, artinya Kak Kayana marah. Dan kalau Kak Kayana marah sama omongan saya, artinya Kak Kayana mau jadi pacar saya.”
Langkah Kayana berhenti namun dia masih membelakangi Raechan yang sekarang juga ikut berdiri dari duduknya.
“Kak Kayana pasti berharapnya saya nembak Kak Kayana pake buket bunga sama lilin yang ditata bentuk love gitu ya? Terus ada iringan live band gitu, iya gak?” Raechan terkekeh atas perkataannya sendiri, “Cahaya lilinnya saya ganti pake cahaya bulan aja gimana? Suara musiknya pake suara ombak, terus buket bunganya saya ganti pake ini.”
Karena penasaran, Kayana membalikkan tubuhnya untuk kembali menatap Raechan. Dia ingin tahu apa yang Raechan siapkan untuk mengganti buket bung yang seharusnya dia terima.
Dari tempatnya berdiri, Raechan tersenyum sembari menunjukkan sebuah kalung yang terlihat berkilat-kilat. Liontin yang mengantung di kalung emas putih itu berbentuk huruf K yang dihiasi dengan bunga-bunga kecil yang indah.
Raechan berjalan mendekat, mengenakan kalung itu di leher Kayana, “Cantik, kayak yang pake.” ucapnya lembut.
“Saya bukannya gak mau nembak Kak Kayana kayak yang orang-orang lakuin, saya cuma pengen kalau nanti saya cerita ke Sergio soal gimana saya nembak Kak Kayana, anak itu bakal kagum sama cerita papanya karena udah nembak mamanya dengan cara yang gak biasa.”
“Sergio?” tanya Kayana heran, karena baru mendengar nama itu, “Sergio siapa?”
“Nama anak pertama kita nanti.”
Sungguh, Kayana benar-benar tidak bisa memahami jalan pikiran Raechan malam ini.
“Gimana? Saya udah boleh cium Kak Kayana belum?”
“Boleh.”
Atas persetujuan itu, bulan dan air laut menjadi saksi betapa mendambanya Raechan pada Kayana.